Sunday, June 11, 2006

PENGABDIAN I WAYAN KODI SUANTARA DI PURA IBU PASEK GELGEL SAWANGAN


PERJALANAN KEPENGURUSAN I WAYAN KODI SUANTARA
DI PURA IBU PASEK GELGEL SAWANGAN
TAHUN 1968 – 1995


AUM SWASTYASTU = Ang = Brahma, Ung = Wisnu, Mang = Iswara/Siwa. Su = Baik, Asti =adalah= tobe (in English), Astu = Semoga.
Pengabdian adalah Paramodharmah, begitu kata-kata yang tersurat dalam buku terbitan Jro Mangku Gede Soebandi. Mengabdi adalah kewajiban setiap orang yang terlahir ke dunia ini, lebih-lebih bagi komunitas Hindu yang lahir di Bali. Bali adalah tumpuan terakhir bagi kehidupan beragama khususnya Agama Hindu (Sanatana Dharma). Setelah Majapahit dipengaruhi agama lain seperti Agama Islam maka berakhirlah Agama Leluhur (Agama Hindu) di tanah Jawa. Semua pemeluk Agama Hindu di tanah Jawa beralih ke Muslim dan ada beberapa yang masih taat menjalankan Agama Leluhur itu mengungsi ke daerah pegunungan seperti Gunung Tengger, Gunung Semeru dan ada beberapa di daerah Blambangan di Jawa Timur, yang konon merupakan tempat bertolaknya Danghyang Nirartha menuju Purancak daerah Gilimanuk (Kepala Ayam). Dengan berakhirnya Agama Hindu di tanah Jawa yang merupakan pelabuhan pertama Ida Bhetara Kasuhun dari Jambu Dwipa (India) sebelum akhirnya di Bali, maka Bali merupakan daerah yang menjadi pelabuhan terakhir bagi spirit Hindu di Indonesia. Oleh karenanya banyak sekali kita jumpai daerah-daerah yang aura spiritualnya begitu besar. Hampir Nusa Bali ini dikelilingi oleh Pura-pura, bagaikan benteng pertahanan yang dijaga ketat oleh tentara. Merupakan hal yang sangat fundamental bagi kita untuk menarik suatu kesimpulan bahwa pengabdian orang Bali merupakan implementasi dari Tri Rna. Dengan pengabidan tersebut, orang Bali berharap agar Tri Hita Karana dapat harmonis, yang pada akhirnya kertha dan bagia dapat tercapai baik di dunia maupun di akhirat (Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma). Begitu pula halnya I Wayan Kodi Suantara, pengabdiannya tak pernah ada sedikitpun muatan politis yang mengiringi pengabdiannya. Pengabdian beliau tulus kepada leluhur, walaupun pada akhirnya tercela bagi mereka yang belum bisa menerima pengabdian yang beliau lakukan.. Satyam Eva Jayate…..
Kini penulis dapat goreskan beberapa kutipan buku harian dari I Wayan Kodi Suantara, sebagai bukti pengabdiannya beliau dari tahun 1968 – 1995 di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan.

A. BEBERAPA PERISTIWA YANG DIALAMI SELAMA MENJADI JURU ARAH (KESINOMAN) PURA IBU PASEK GELGEL SAWANGAN

Kewajiban pengerandan dari tahun 1968 s/d 1980, adalah maturan canang pada saat Pujawali Jelih, kena Uran (Ngadu Ayam) :
a. Kalau ayamnya sempat diadu (kalah atau menang), tidak akan dikenakan dedosan.
b. Kalau ayamnya tidak sempat diadu maka akan dikenakan dedosan.
c. Untuk warga pengarep mempunyai kewajiban yang sama seperti a dan b, selain kewajiban-kewajiban yang lain.

Data prajuru warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan tahun 1968 s/d 1980 sebagi berikut :
Penglingsir : I Wayan Sedeng
Penglingsir : I Wayan Ceteg (Almarhum)
Bendahara : I Rempeng
Juru arah : I Wayan Kodi (Suantara) untuk wilayah Desa, Tukad Bajang, dan Peminge
termasuk pengandan.
Juru arah : I Made Wanci untuk wilayah Gunung Payung termasuk pengerandan.
Sebelum tahun 1968 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan sudah mempunyai usaha untuk penggalian dana (Utsaha Dana) semisal melalui Nyabit alang-alang, Ngikat alang-alang, Mengatapi rumah, Nyabut kacang tanah, memetik padi (Manyi), dan kerja lain-lainnya. Hasil dari usaha ini dipergunakan untuk persiapan yadnya. Upah atau ongkos termasuk hasil memetik padi gaga dikumpulkan pada waktu Buda Wage (cemeng) setelah panen. Upah ini akan dipilah menjadi dua diantaranya :
- Upah berbentuk uang akan dipegang oleh Bendahara.
- Upah yang berbentuk padi gaga disimpan dalam Lumbung (Klumpu).

Tahun 1969 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melakukan perbaikan tembok/pemugaran Pura, yang mana awalnya memakai bahan Batu Karang (Batu kaang Pasih) diganti dengan batu peripihan (batu cetakan bukit) yang ukurannya ± panjang 1 Meter, tebalnya 20 Cm dan lebarnya 30 Cm biasanya dipikul berdua (2 orang).

Pada tahun 1970, pernah ada himbauan dari Warga Pasek Sumerta guna mensosialisasikan mengenai pengukuhan Sri Empu (Pandita Empu) sebagai Surya. Duta yang hadir pada waktu itu adalah I Ketut Pugir dari Lantang Bejuh Sesetan, yang mempunyai gagasan ini adalah Bapak Wayan Dana (mantan Bupati Badung), Bapak Pasek Suka Eling (mantan Camat Kuta) dan Bapak Mertha Suteja. Wadah persatuan warga pasek adalah Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR). Yang dikukuhkan menjadi Pandita Empu pada waktu itu adalah Pan Wates dari Gemeh Denpasar. Pada saat welaka beliau berprofesi sebagai Kusir Dokar. Pada pengukuhan ini, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dihadiri oleh I Wayan Sedeng, I Wayan Ceteg (Alm), dan I Wayan Kodi (Suantara). Pada kesempatan itu Wayan Sedeng mengungkapkan tidak menyetujui berpindah Surya dari Ida Pedanda ke Ida Pandita Empu, karena masih berkeyakinan nunas pemuput ring Ida Pedanda.

Bertepatan dengan hari Jumat (Sukra), Wuku Gumbreg pada tanggal 1 Oktober 1971 masehi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan pengabenan (Atiwa-tiwa).

Pada hari Jumat (Sukra), wuku Julungwangi, bertepatan dengan tanggal masehi 22 Oktober 1971 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan penyekahan yang merupakan lanjutan dari Upacara Atiwa-tiwa tertanggal 1 Oktober 1971 diatas.

Tahun 1971, I Wayan Sedeng selaku pengelingsir mencetuskan rencana untuk memindahkan Bale Pemaksan ke tempat Bale Pengeratengan yang sekarang ini. Berkenaan dengan rencana itu semua Juru Arah diperintahkan untuk mengarahkan warganya untuk memindahkan Bale Pemaksan tersebut, namun I Wayan Kodi (Suantara) dan I Made Wanci tidak memerintahkan warganya, sehingga pemindahan Bale Pemaksan tersebut batal dipindahkan. Tetapi di tempat ini didirikan bangunan semi permanen untuk persiapan dalam rangka Karya Pedudusan Alit pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 17 Nopember 1971 masehi.

Pada tahun 1971 ini pula, yang tepatnya tanggal 7 Nopember 1971 masehi, sebuah drum berbentuk balok panjang terdampar di pantai Sawangan (Lot 4 sekarang). Drum itu diangkat ramai-ramai oleh warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan untuk tempat air seperti yang kita warisi sekarang (di Dapur suci Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan).

Pada hari Rabu (Buda), wuku Langkir, tanggal 17 Nopember 1971 masehi di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dilaksanakan Upacara Medudus, yang dipuput oleh Ida Pedanda (Bhetara) Griya Puseh Sanur (sampun newata).

Pada hari Selasa (Anggara) Kliwon, wuku Medangsia, tanggal 23 Nopember 1971 masehi, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan upacara me-ajar-ajar di Lingkungan Pura Desa, Puseh, Geger, Karang Boma (Barong-barongan), Gunung Tedung dan akhirnya di Pura Pengastulan.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng), wuku Langkir tanggal 11 Oktober 1978 masehi merupakan Pujawali Ida Bhetara Hyang. Pada kesempatan ini dilakukan nunas prasasti ring Jro Mangku Dalem Dasar Kelungkung yang ditulis oleh Jro Mangku Numbreg (Almarhum) namun belum di-linggatanganin oleh Ida Dalem Pemayun dari Puri Kelungkung.

Tahun 1979, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan pengabenan, diantaranya yang diaben pada saat itu adalah I Wayan Ceteg, Ni Wayan Duari, I Wayan Sareng dan Ni Wayan Gemplek.


B. BEBERAPA PERISTIWA YANG DIALAMI SELAMA MENJADI PENYARIKAN (SEKRETARIS) PURA IBU PASEK GELGEL SAWANGAN

Hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng), wuku Warigadian, tanggal 28 Mei 1980 masehi dimulai pengumpulan dana per ijasan @ Rp. 100.000,- dengan jumlah ijasan sebanyak 6 ijasan. Dari 6 ijasan ini terkumpul dana Rp. 600.000,-. Dana yang telah terkumpul ini selanjutnya dibungakan kepada warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang membutuhkan berdasarkan peraturan Warga Pemaksan (Data Terlampir). Adapun susunan kepengurusan Warga Pemaksan pada waktu itu sebagai berikut :

Penglingsir Wrdha : I Wayan Sedeng
Penglingsir Madya : I Wayan Kendra
Penyarikan : I Wayan Kodi (Suantara)
Juru Arah (Kesinoman) : I Wayan Deger (Dari Desa s/d Peminge dan Pengrandan)
Juru Arah (Kesinoman) : I Ketut Cangkir (Tantra) (Tukad Bajang dan Pengerandan)
Juru Arah (Kesinoman) : I Nyoman Riten ( Gunung Payung dan Pengerandan)

Pada tahun 1981 I Reteng meninggal. Pada saat kematian I Reteng ini bertepatan dengan Karya Panca Walikrama (Balikrama) di Pura Besakih. Pada Upacara Panca Walikrama tahun ini Panitia Karya (Parisada) melakukan Upacara pengandeg ke masing-masing Desa Adat di Bali termasuk Desa Adat Peminge sebulan sebelum Upacara Panca Walikrama dilaksanakan. Dalam kurun waktu sebulan itu, apabila ada warga Desa Adat yang meninggal patut dikubur dan disertai dengan Banten Pengandeg terkecuali yang bersangkutan langsung diaben (Upacara Atiwa-tiwa) sesuai Bhisama Ida Pedanda. Berdasarkan petunjuk Bendesa Adat Peminge (I Wayan Rentok) bahwa :
1. Dalam hal mapinunas ke Griya tentang Dewasa Ayu untuk Upacara Pengabenan agar
disesuaikan dengan dresta Desa Adat Peminge yaitu menghindari Dewasa Ayu yang ketemu
(nemonin) Pasah, Ingkel Wong dan Kajeng Kliwon.
2. Dalam hal pelaksanaan nunas pekuluh di Dalem Kahyangan harus disertai dengan caru
kekeludan, agar tidak lagi dalam 3 hari dari acara pengabenan melaksanakan upacara
kekeludan ke Pura Dalem Kahyangan.
3. Penyiraman mayat (Nyramang Layon) dilakukan di halaman (Natah) rumah orang yang
meninggal. Hal ini masih diwarisi sampai sekarang.
4. Dalam pelaksanaan pembuatan liang kubur (Ngeluang), warga harus dipagpag dengan
upakara prayascita, Nasi tutuk kukusan dengan be karangan.

Mengenai pe-Suka Duka-an di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan pada tahun 1981 belum ada, yang ada hanya pa-Suka Duka-an di Banjar Sawangan dalam bentuk tempekan atau anggota banjar seluruhnya. Pada waktu itu yang menjadi Kelian Suka Duka adalah I Ketu Titen (Pan Loka), Sekretarisnya I Nyoman Kiteh dan Kelian Dinesnya adalah I Wayan Ronci. Pada upacara pengabenan I Reteng ini Ketut Titen datang langsung ke rumah I Reteng dengan membawa peraturan pe-Suka Duka-an Banjar dan memperingatkan I Wayan Kodi selaku pelaksana upacara pengabenan I Reteng dan Prajuru Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan waktu itu. Atas peringatan itu, I Wayan Kodi menanggapi dengan argumen bahwa seyogyanya sebagai seorang Kelian Suka Duka dapat berlaku adil kepada setiap warganya, dimana pada pengabenan Kak Peri tidak pula memakai tempekan banjar, sehingga I Wayan Kodi berani bersikap sama seperti itu. Dalam hal ini I Ketut Titen atas argumen I Wayan Kodi diibaratkan oleh Pan Libur (Peminge) “Kelem di dakéné” (tenggelam pada air yang dangkal). Terlibatnya Pan Libur pada waktu pengabenan I Reteng tahun 1981 itu, oleh karena beliau adalah anggota sekaa gong dari Peminge yang ditanggap (diupah) untuk upacara tersebut, sementara waktu itu di Sawangan belum ada sekaa gong seperti di Peminge.
Pada akhir tahun 1982 tepatnya hari Rabu (Buda), Wage (Cemeng), Wuku Merakih tanggal 24 November 1982, Penglingsir Werda I Wayan Sedeng (Pan Kontreg) menjelaskan dihadapan warga pada acara rapat warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Mangku untuk Susunan Ida Bhetara adalah I Ketut Turut.
2. Mangku untuk Bhetara Hyang adalah I Wayan Regug.
3. Mangku untuk Ida Bhetara Dalem Dasar di Pura Pengastulan adalah I Made Gabeng.
4. Mengenai Balai Pemaksan yang bocor perlu diperbaiki.
5. Usul-usul dan Tanya jawab.

Mengenai usulan warga yang disimpulkan pada waktu itu, agar diutamakan dalam hal nyapsap mangku, baru dilanjutkan tentang pembangunan. Acara rapat warga ditutup oleh I Wayan Sedeng selaku Penglingsir Werda.

Pada hari Jumat (Sukra) Wuku Gumbreg, tanggal 1 April 1983, Pan Coco melaksanakan upacara Penyekahan yang merupakan lanjutan dari upacara Atiwa-tiwa. Bale Piyadnyan di Counter Rent Car A.A. Ketut Wijaya di Peminge. I Reteng waktu itu ikut di sekah.

Hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Warigadian tanggal 13 April 1983 masehi, uang warga terkumpul dari masing-masing Rp. 100.000,- menjadi Rp. 600.000,-. Dari uang tersebut dipergunakan untuk membeli Capah pis bolong kepada I Ketut Turut dengan kwitansi di-cap jempol oleh Ni Wayan Lumur (Kwitansi Terlampir).

Buda (Rabu) Wage (Cemeng) Wuku Langkir, tanggal 18 Mei 1983 merupakan Pujawali Ida Bhetara Hyang. Mengenai persiapan Pujawali tersebut telang rampung, tetapi pada hari Senin (Soma) 16 Mei 1983 Ni Sukari, nenek I Nyoman Subrata meninggal. Menurut rencana anaknya Ni Sukari yaitu I Wayan Kebyeng, pelaksanaan penguburan pada hari Selasa (Anggara) tanggal 17 Mei 1983. Oleh karena persiapan Pujawali telah rampung maka pada waktu itu I Wayan Kodi dan Kak Leri diutus untuk mohon kepada I Wayan Kebyeng, agar pelaksanaan penguburan ibunya diundur. Atas permintaan itu dengan pertimbangan mendahulukan kepentingan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan akhirnya I Wayan Kebyeng menerima dengan baik permakluman itu, baru pada akhirnya tanggal 19 Mei 1983 dilaksanakan penguburan Ni Sukari dan upacara kekeludan/ngerorasin pada hari Selasa (Anggara) Wuku Pujut tanggal 31 Mei 1983.
Pada Pujawali Ida Bhetara Hyang tanggal 18 Mei 1983, yang menjadi anggota pemaksan baru (tuun ayah) adalah I Wayan Ribut, I Wayan Seput dan I Made Arta.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Merakih tanggal 22 Juni 1983 dilaksanakan rapat warga. Rapat dipimpin oleh I Wayan Sedeng untuk membicarakan masalah mangku untuk Susunan Ida Bhetara, Mangku Bhetara Hyang dan Mangku Ida Bhetara Dalem Dasar di Pura Pengastulan. Berdasarkan usulan I Kembar (Pan Tanggu), untuk mangku Ida Betara Susunan diusulkan I Ketut Loster, sedangkan mangku Ida Bhetara Dalem Dasar dari keluarga I Wayan Kebyeng menggantikan I Made Gabeng. Tanggapan dari I Kosir (Pan Sura), siap mewarisi menjadi mangku. I Wayan Kebyeng belum siap menjadi mangku sedangkan untuk I Ketut Loster, warga tidak menerima oleh karena belum beristri, tidak wajar diangkat menjadi mangku. Atas keputusan itu, akhirnya rapat diakhiri dan ditutup pukul 11.30 oleh I Wayan Sedeng.

Rapat warga kembali dilaksanakan pada Rabu (Buda) Umanis Wuku Tambir tanggal 29 Juni 1983 tentang Mangku dan Pembangunan.
Mengenai Mangku Ida Bhetara Susunan ditetapkan I Wayan Kosir (Pan Sura) menggantikan I Ketut Turut. Mangku Bhetara Hyang ditetapkan I Made Num (Pan Balin) menggantikan I Wayan Regug. Sedangkan untuk Mangku Ida Bhetara Dalem Dasar belum dapat ditetapkan penggantinya dari keluarga I Wayan Kebyeng karena mengenai kepemangkuan di Pengasti Ida Bhetara Dalem Dasar harus turun menurun (ngewaris) berdasarkan petunjuk I Kembar (Pan Tanggu).
Mengenai Pembangunan yang harus diperbaiki adalah Bale Pemaksan, Tajuk 2 buah, Bale Pe-gong-an, Bale Kurabi diganti tarib dan atapnya, Kemulan Wayah dan Manjangan Seluang hanya disulam saja. Anggaran pembangunan termasuk upacara pemelaspasnya diasumsikan sebesar Rp. 16.000,- dibebankan kepada Kepala Keluarga Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dengan jumlah KK sebanyak 102 KK. Jadi jumlah uang yang terkumpul sebesar Rp. 1.632.000,- dengan cara dicicil sebanyak 4 kali oleh warga @ Rp. 4.000,-.

Berkenaan dengan upacara Panca Sanak untuk semua mangku yang baru dilaksanakan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Menail tanggal 27 Juli 1983 masehi diantaranya :
- I Wayan Kosir (Pan Sura) beserta istrinya untuk Mangku Ida Bhetara Susunan.
- I Made Num (Pan Balin) untuk Mangku Ida Bhetara Hyang, bersama ibunya dan bukan
dengan istrinya (Men Balin). Pada upacara ini semestinya dilakukan bersama Men Balin,
tetapi Men Balin tidak mau oleh karenanya atas petunjuk I Kembar (Pan Tanggu)
dilaksanakan oleh Dong Bali.
- Semestinya waris I Wayan Kebyeng pada hari ini juga ikut melakukan upacara mesapsap
(upacara Panca Sanak) menggantikan I Made Gabeng menjadi Mangku (Jan Bangul Ida
Bhetara) di Pura Pengastulan Sawangan demi efisiennya biaya yang akan dikeluarkan.

Hari Jumat (Sukra) wuku Menail tanggal 29 Juli 1983 dilakukan pewintenan/pejaya-jayan oleh Ida Pedanda Griya Puseh Sanur. Dan pada hari Selasa (Anggara) Kiwon wuku Perangbakat tanggal 2 Agustus 1983 dilakukan upacara pemintonan untuk Mangku Sura dan Mangku Balin di Pura Bale Agung, Pura Puseh, Pura Geger, Pura Karang Boma dan Pura Gunung Tedung. Mengenai biaya kedua upacara untuk kedua mangku ini diambil dari iuran warga sebesar Rp. 100.000,- perijasan tersebut diatas.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Kelawu tanggal 31 Agustus 1983 dilaksanakan rapat warga yang dipimpin oleh I Wayan Sedeng. Dalam rapat warga ini dibicarakan masalah dana yang terkumpul dari masing-masing ijasan sebesar Rp. 100.000,- tersebut agar tidak dipergunakan untuk pembiayaan pembangunan dan pemelaspasannya berdasarkan usulan Pan Tama, Pan Rimpig, Pan Mukin, I Madig, Pan Roden, Pan Polih yang didukung oleh semua warga yang hadir pada waktu itu. Demikian keputusan yang diperoleh pada rapat tersebut sampai rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng.

Pada Pujawali Ida Bhetara yang bekenaan dengan hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Langkir tanggal 14 Desember 1983 dilakukan pemelaspasan bangunan yang baru direhab oleh Ida Pedanda Griya Puseh Sanur.

Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Menail tanggal 22 Pebruari 1984, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan gotong royong untuk membersihkan halaman pura dan bale pemaksan. Pada acara tersebut dilanjutkan dengan rapat warga. Rapat pada waktu itu yang dipimpin oleh I Wayan Sedeng, beberapa usulan warga seperti :
- Pan Tanggu (I Kembar), P Masih, I Kiteh, Pan Mukin, Pan Rimpig yang ditampung oleh
prajuru mengenai Upacara Pitra Yadnya dalam jangka pendek dan jangka panjang.
- I Wayan Kodi mengusulkan agar dibangun bale pengeratengan (Dapur Suci) untuk
pelaksanaan Upacara Yadnya.
Dari kedua usulan tersebut oleh prajuru ditampung dan ditanggapi sebagai berikut :
- Untuk Pitra Yadnya akan dicarikan waktu baik untuk membuat suatu aturan suka duka, baik
bersifat gotong royong, baik dalam bentuk pantus jelih maupun puyung dari warga
- Berkenaan dengan perencanaan pembangunan bale pengeratengan, semua warga yang hadir
dalam rapat menyatakan setuju dengan syarat pengurus dapat mengusahakan lapangan
pekerjaan bagi warga sehingga warga dapat membayar uronan. Hal ini ditanggapi oleh I
Wayan Kodi, apabila memang betul-betul warga ingin bekerja, I Wayan Kodi berusaha akan
mencarikan lapangan pekerjaan. I Wayan Kodi mengusulkan kepada warga untuk bongkar
muat di pelabuhan Benoa dan akhirnya disambut baik oleh warga waktu itu. Setelah ada
kesepakatan warga tersebut akhirnya rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng. Dengan
disetujuinya pekerjaan yang ditawarkan oleh I Wayan Kodi kepada warga, maka ditemuinya
Pak Pujawan selaku Ketua Yayasan YUKA Benoa. Alangkah senangnya hati I Wayan Kodi,
bak Gayung bersambut, akhirnya warga bekerja bongkar muat di Pelabuhan Benoa dengan
nama kelompok “Kelompok Bekul”. Atas usaha I Wayan Kodi dan restu Pak Pujawan, warga
dapat bekerja di Pelabuhan Benoa dan beberapa order telah dijalankan oleh Kelompok Bekul,
akhirnya Bale Pengeratengan yang direncanakan saat itu dapat terselesaikan dengan baik.

Rapat bulanan kembali dilaksanakan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984. Dalam rapat ini dibahas mengenai peraturan-peraturan Suka Duka Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan. Dalam rapat ini diberlakukan sangsi bagi mereka warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang tidak hadir sebesar Rp. 500,- dan tidak diijinkan ibu-ibu yang mengikuti rapat penting ini. Berdasarkan rapat warga pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 22 Pebruari 1984 pukul 13.00 wita yang dipimpin oleh I Wayan Sedeng tentang keputusan rapat mengenai Suka Duka dalam jangka panjang untuk upacara Pitra Yadnya dan Upacara Manusa Yadnya. Adapun jumlah Kepala Keluarga Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan pada saat itu berjumlah 108 KK. Dalam rapat tersebut, yang hadir sejumlah 97 KK dan yang tidak sebesar 11 KK. Kepala Keluarga yang tidak hadir pada saat rapat tersebut antara lain :
- I Gabeng
- I Ranteng
- I Rubag
- I Rubeg
- I Losin
- I Sibug
- I Ribeg
- I Senti
- I Ribet
- I Pangot, dan
- I Renda
Dengan kehadiran KK sejumlah 97 itu, maka peraturan Suka Duka dapat dirumuskan dan disahkan. Beberapa kesepakatan yang dapat diambil dan selanjutnya dijadikan aturan Suka Duka Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan antara lain :

A. PITRA YADNYA

1.Untuk Pitra Yadnya sebagai berikut :
- KK warga kena pantus beras 5 Kg X Rp. 280,- = Rp. 1.400,-
- KK warga kena pantus tiying 1 batang.
- KK warga kena pantus ingketan 2 depa.
- KK warga kena pantus tetarub 50 buah.

2. Pelaksanaan Puyung
- Membuat Bale Piyadnyan
- Membuat Bale Pengorong
- Membuat Bale Pemiyosan di Pengorong dan di Setra untuk upacara ngulapin.

3. Pelaksanaan Jelih
- Dalam hal pelaksanaan jelih pada saat pengulapan dan penyekahan, istri warga KK mendapat
nasi punjungan lengkap dengan ikan bayuhan 1 ½ punjung.

4. Ketentuan bagi warga di luar Lingkungan Sawangan.
- Khusus mengenai Warga KK Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang berada di luar
Lingkungan Sawangan (Peminge, Kuta, Badung dan lain-lain) diberikan kebebasan hak untuk
ikut atau tidak ikut aturan diatas.

B. MANUSA YADNYA

Mengenai Suka Duka tentang Manusa Yadnya hanya mendapat bantuan :
- Bambu 1 batang
- Kegotong royongan 2 X sebelum puncak acara (bila diperlukan)
- Warga KK pemaksan ngerateng dari Pukul 19.00 Wita sampai Pukul 24.00 Wita.
- Istri warga pemaksan dapat nasi punjungan (Pempenan) lengkap dengan ikan bayuhan 1
½ punjung paca puncak acara.

Hal-hal lain yang belum diatur dalam aturan Suka Duka ini, akan diatur kemudian dalam rapat warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Merakih tanggal 15 Agustus 1984 masehi sore, Rapat Warga dilaksanakan dan dibuka oleh I Wayan Sedeng. Dalam Rapat ini dibahas mengenai Rencana Pembangunan Bale Pengeratengan, yang telah direncanakan pada rapat warga tanggal 22 Pebruari 1984 dan telah tersedianya dana untuk pembangunan tersebut dari hasil warga kerja bongkar muat di Pelabuhan Benoa. Semua warga yang hadir dalam rapat tersebut sepakat untuk menindaklanjuti rencana pembangunan Bale Pengeratengan tersebut dan rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng.

Sebagai tindaklanjut dari perencanaan pembangunan Bale Pengeratengan maka pada hari Sabtu (Saniscara) wuku Merakih tanggal 18 Agustus 1984 mohon dewasa ayu (mapinunas) untuk membuat dasar (nasarin) Bale Pengeratengan ke Griya kepada Ida Pedanda. Dalam hal dewasa ayu yang diberikan oleh Ida Pedanda adalah hari Senin (Soma) wuku Matal tanggal 3 September 1984.

Setelah selesai dibangun Bale Pengeratengan berdasarkan dewasa ayu yang diberikan oleh Ida Pedanda dalam hal membuat dasar (nasarin) tanggal 3 September 1984, maka upacara pemelaspasnya dilaksanakan pada hari Senin (Soma) wuku Tolu tanggal 10 Desember 1984 yang dipuput oleh Ida Pedanda dari Griya Puseh Sanur.

Senin (Soma) wuku Dungulan tanggal 21 Januari 1985 dilaksanakan rapat khusus warga mengenai Pengabenan Massal. Rapat khusus ini dibuka oleh I Wayan Sedeng dan dihadiri oleh I Wayan Sedeng, Pan Tanggu, Kak Leri, Pan Polih, Pan Sura, Pan Rimpig, I Num, Pan Mukin, Pan Koran, I Kiteh, Pan Karmi, I Riten, Pan Candri, Pan Roden, I Cangkir, Pan Sintin, I Wayan Kodi. Rapat ini dilaksanakan di Bale Pengeratengan pukul 13.00 wita dan dibuka oleh I Wayan Sedeng. I Wayan Sedeng menjelaskan rencana pengabenan massal dan meminta kepada warga, bagi yang memiliki sawa yang belum diaben. Setelah mendapat penjelasan dari pimpinan rapat, semua warga menyetujuinya sesuai rencana pengabenan yang akan dilaksanakan berkisar bulan Juli dan Agustus 1985, agar berdekatan dengan pujawalinya Ida Bhetara pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir. Setelah semuanya mendapat keputusan warga, akhirnya rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng pukul 16.15 wita.

Rapat untuk memantapkan perencanaan pengabenan massal, yang telah direncanakan pada rapat tanggal 21 Januari 1985 dilaksanakan kembali pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 17 April 1985, untuk membahas lebih lanjut tentang pengabenan massal tersebut. Rapat dipimpin oleh I Wayan Sedeng. Dalam rapat kali ini warga tetap menyetujui perencanaan pengabenan massal tetapi sebaiknya dilakukan rapat khusus antara warga yang memiliki sawa bersama pengurus pemaksan. Dalam rapat ini I Wayan Kodi menjelaskan tentang keuangan dan penganggen Pura (wastran Pura) serta peralatan Pura yang lain. Usulan dari I Wayan Kodi mendapat respon positif dari warga untuk membeli penganggen sanggah dan peralatan dapur dan disepakati warga kena uronan waktu itu Rp. 1.000,- per KK. Acara ditutup pukul 16.00 wita oleh I Wayan Sedeng.

Menindaklanjuti usulan warga tentang rapat khusus untuk rencana pengabenan, maka pada hari Minggu (Redite) wuku Perangbakat tanggal 21 April 1985 dilaksanakan rapat khusus tersebut untuk :
- Pengecekan Sawa Gede dan Kecil
- Pembentukan Panitia
- Rencana Kerja

Dalam rapat ini dapat dihasilkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dalam hal pengecekan sawa

a. Ijasan I Wayan Kodi
I Kiteh sawa gede 2 sawa
P Sami sawa gede 2 sawa
I Mendra sawa gede 1 sawa
I Ribet sawa cenik 1 sawa

b. Ijasan I Wayan Kendra (Pan Polih)
Pan Polih sawa gede 2 sawa
I Minta sawa gede 2 sawa

c. Ijasan I Wayan Sedeng
I Kongsi sawa gede 1 sawa
I Kebyeng sawa gede 1 sawa
P Koran sawa gede 1 sawa
P Raba sawa gede 1 sawa
P Warta sawa kecil 1 sawa

d. Ijasan Pan Roden
Pan Roden sawa gede 1 sawa
I Peneng sawa kecil 1 sawa
I Madra sawa kecil 1 sawa
I Seput sawa kecil 1 sawa
I Ruga sawa kecil 1 sawa

e. Pan Muntra (warga luar)
Pan Muntra sawa gede 1 sawa
sawa kecil 2 sawa
Jadi jumlah sawa gede sebanyak 15 sawa diantaranya, laki-laki 8 sawa dan perempuan 7 sawa. Jumlah sawa kecil sebanyak 8 sawa diantaranya, laki-laki 5 sawa dan perempuan 3 sawa.

2. Panitia Pengabenan
Dalam pengabenan massal ini telah tersusun kepanitiaan sebagai berikut :
Ketua I : I Wayan Sedeng
Ketua II : I Koser (Pan Koran)
Sekretaris I : I Wayan Kodi (Pan Putu)
Sekretaris II : I Nyoman Kiteh
Bendahara I : I Wayan Kendra (Pan Polih)
Bendahara II : I Made Letong (Pan Muntra)
Pembantu Umum : I Nyoman Riten, I Ketut Tantra (Cangkir)
Tugas Belanja : I Deger (Pan Roden)

3. Rencana Kerja
Menyangkut rencana kerja baru akan ditentukan setelah tangkil ke Griya. Pada hari Senin (Soma) wuku Prangbakat tanggal 22 April 1985 pengurus nangkil ke Griya. Dari penangkilan tersebut didapat petunjuk oleh Ida Pedanda sebagai berikut :
- Acara pengabenan dilaksanakan pada hari Jumat (sukra) wuku Gumbreg tanggal 19 Juli 1985.
- Acara penyekahan yang merupaka lanjutan dari upacara pengabenan dilaksanakan pada hari Jumat (sukra) wuku Julungwangi tanggal 9 Agustus 1985.
Setelah ada petunjuk dari Ida Pedanda tentang hari baik upacara pengabenan termasuk upacara penyekahan serta besar kecilnya tingkat yadnya yang akan dijalankan, diperoleh reka-reka biaya Banten, sarana dan presarana untuk menunjang pelaksanaan upacara ngaben sampai dengan penyekahan sebesar Rp. 200.000,- per sawa gede dan Rp. 25.000,- per sawa ngelungah.
Biaya ini sejumlah Rp. 100.000,- per sawa dipersembahkan kepada Ida Ayu Made (Tukang Banten) tanggal 3 Mei 1985, yang tepatnya pada hari Jumat (sukra) wuku Bala. Untuk persiapan biaya pengeratengan (keteben) persawa gede dikenai biaya Rp. 50.000,- dan persawa kecil (ngelungah) sebesar Rp. 6.250,-.
Dalam rapat panitia pelaksanaan pengabenan massal tertanggal 13 Juni 1985, hari Kemis (Wrahaspati) wuku Sinta, membahas tentang rencana pengumpulan alat-alat Bale Piyadnyan. Dalam pembahasan ini diputuskan pada hari Jumat (sukra) wuku Landep tanggal 21 Juni 1985 untuk pengumpulan alat-alat Bale Pengorong. Dalam pengumpulan alat-alat ini disesuaikan dengan keputusan rapat hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984 yang lalu. Apabila dari alat-alat yang terkumpul dari warga pemaksan tersebut ternyata kurang, maka akan ditutup oleh seka sawa.

Pada acara gotong royong warga anggota Pemaksan hari Senin (soma) wuku Ukir tanggal 24 Juni 1985, Ida Bagus Mayun berkunjung (lunga) nyukat genah Bale Piyadnyan yang tempatnya disebelah utara Bale Pengeratengan, berbatasan dengan rumahnya Kak Piri/I Gemuk. Acara gotong royong ini merupakan implementasi dari keputusan rapat hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984.

Dalam rangkaian upacara pengabenan, dilaksanakan kegiatan nunas bawos (nunasang ring beras jinah) kepada mereka yang akan diupacarai, bertempat di Banjar Gemeh Dangin Puri, dan ada beberapa lagi yang mengulang lagi (mindokin) ke Panjer dan Br. Betngandang.

Selasa (Anggara) wuku Gumbreg tanggal 16 Juli 1985, warga pemaksan yang laki-laki ngerateng ke Bale Piyadnyan pukul 18.30 wita untuk persiapan acara pengulapan sawa ke setra. Setelah warga laki-laki habis ngerateng, besoknya pada hari Rabu (Buda) wuku Gumbreg tanggal 17 Juli 1985 pukul 06.00 wita istri-istrinya mendapat bagian nasi punjungan lengkap ikan bayuhan sesuai dengan keputusan rapat warga. Dalam hari dan jam itu juga satu arahan warga gotong royong di setra untuk membuat Bale Pemiyosan sampai selesai. Pukul 13.00 semua warga anggota pemaksan laki-perempuan kumpul di Bale Piyadnyan untuk ikut ke setra ngulapin sawa yang diaben sampai kembali lagi ke Bale Piyadnyan.
Kemis (wrahaspati) wuku Gumbreg tanggal 18 Juli 1985 beberapa kegiatan dilaksanakan sebagai berikut ;
- Diperbolehkan untuk tidak nyimpangang sawa ke masing-masing rumah tangga.
- Warga tempekan banjar pukul 18.00 sudah datang ke tempat pengeratengan sampai selesai.

Dalam puncak acara pengabenan pada hari Jumat (Sukra) wuku Gumbreg tanggal 19 Juli 1985, semua warga pemaksan datang ke Bale Piyadnyan pukul 13.00 untuk mengikuti prosesi upacara pengabenan sampai acaranya selesai.

Setelah selesai upacara pengabenan, rangkaian berikutnya adalah nyenukan ke Griya Puseh Sanur hari Senin (Soma) wuku Wariga tanggal 22 Juli 1985. Dan di hari Jumat (Sukra) wuku Wariga tanggal 26 Juli 1985 dilakukan upacara pemarisuda Bale Piyadnyan dirangkaikan dengan upacara ngerorasin (caru kekeludan).

Pada hari Kemis (Wrahaspati) wuku Julungwangi tanggal 8 Agustus 1985, pukul 18.30 warga pemaksan datang ke Bale Pengorong untuk ngerateng dalam rangka persiapan upacara penyekahan sampai selesai.

Hari Jumat (Sukra) wuku Julungwangi tanggap 9 Agustus 1985 beberapa hal dilangsungkan berkenaan dengan upacara penyekahan antara lain ;
- Pukul 06.30 istri warga pemaksan datang ke Bale Piyadnyan diberi nasi punjungan lengkap dengan ikan bayuhan 1½ punjung.
- Pukul 18.00 semua warga pemaksan ke Bale Piyadnyan ikut membantu sampai selesai acara besok paginya sebagai upacara penganyutan sekah ke pantai (segara).

Hari Senin (Soma) wuku Sungsang tanggal 12 Agustus 1985 beberapa kegiatan rangkaian upacara penyekahan dilakukan antara lain :
- Pukul 07.30 ke Griya ngaturang jauman dan sekalian nunas upakara untuk penuntunan ke segara
- Pukul 15.00 ke segara nuntun yang dipuput oleh Ida Pedanda.

Pada hari Minggu (Redite) wuku Langkir tanggal 1 September 1985, I Wayan Kodi sebagai utusan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan untuk menghadiri rapat ke Pura Dadia Agung Sumerta, dengan membawa surat yang telah dibubuhi tandatangan oleh Penglingsir. Dalam isi surat tersebut menyatakan bahwa warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang akan masuk sebagai anggota pemaksan Pura Dadia Agung Pasek Sumerta hanya dua orang diantaranya I Wayan Sedeng dan I Wayan Ceteg. Surat ini disusun dan ditulis oleh I Wayan Kodi. Adanya isi surat semacam itu oleh karena dari pihak Pura Dadia Agung Pasek Sumerta dalam setiap rapat selalu meminta kepada utusan pihak Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan agar warganya semua masuk warga Pura Dadia Agung Pasek Sumerta. Atas permintaan tersebut, apabila warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan tidak mengindahkan maka bilamana ada keperluan untuk mohon (nunas) tirta dan keperluan (pinunas) lainnya tidak akan dilayani.
Berdasarkan surat itu (data terlampir), I Wayan Kodi menyampaikan isi permohonan dari warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan agar sudikiranya pihak Pura Dadia Agung Pasek Sumerta menerima permohonan warga seperti itu. Atas dukungan Pak Made Ari dari Br. Bualu, I Wayan Setir dari Br. Penyarikan dan Pak Sigir dari Desa Pecatu, akhirnya dikabulkan dengan baik permohonan tersebut. Dalam acara tersebut pula telah diputuskan hari piodalan (tegak pujawali Ida Bhetara) di Pura Dadia Agung Pasek Sumerta tiap-tiap purnama bulan Nopember atas dasar usulan warga dari Negara dan Buleleng.

Hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 4 September 1985 dilakukan upacara Medudus sebagai rangkaian upacara pengabenan dan upacara penyekahan. Upacara Medudus ini dipuput oleh Ida Pedanda dari Griya Puseh Sanur.

Serangkaian upacara Medudus diatas, pada hari Selasa (Anggara) Kliwon wuku Medangsia tanggal 10 September 1985 dilaksanakan Upacara Meajar-ajar di lingkungan Desa Adat Peminge, Sawangan dan Pura Luhur Uluwatu.

Pada hari Selasa (Anggara) Kliwon wuku Prangbakat tanggal 17 Juni 1986 melanjutkan upacara meajar-ajar yang telah dilakukan di lingkungan Desa Adat Peminge, maka pada hari ini dilakukan meajar-ajar ke luar lingkungan Desa Adat Peminge seperti Pura Dadia Agung Pasek Sumerta, Nyegara gunung di Goa Lawah, Dalem Puri, Titi Gonggang yang dipuput oleh Ida dari Griya Puseh Sanur, dilanjutkan ke Catur Lawa Besakih (Pedharman), Penataran Agung, Dalem Dasar langsung makemit. Esok harinya pada hari Rabu (Buda) Umanis wuku Prangbakat tanggal 18 Juni 1986 dilanjutkan ke Pura Silayukti, Tanjung Sari di Padang Bai, Penataran Agung Lempuyang, Telaga Mas Lempuyang, Pasar Agung Lempuyang Luhur. Dalam prosesi upacara Meajar-ajar ini ada disuatu pura yang mestinya dilakukan meajar-ajar, tetapi tidak sempat dilakukan yaitu di Pura Lempuyang Madya Parhyangan Ida Bhetara Mpu Gnijaya yang merupakan kawitan Warga Pasek sedaya.

Dalam kepengurusan I Wayan Kodi, acara rapat bulanan selalu dilakukan terkecuali terjadi kecuntakan. Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu tanggal 16 Juli 1986 diadakan rapat warga. Rapat dipimpin oleh I Wayan Sedeng. Dalam rapat ini I Wayan Sedeng menerangkan tentang kesakitan anaknya yang bernama I Made Sena dan telah berobat kepada Ida Cokorda Toya di Puri Kelungkung. Dalam hal keberadaan sakit anaknya I Wayan Sedeng diminta oleh Ida Cokorda Toya untuk ikut mekawitan di Puri, yang kebetulan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan waktu itu belum menemukan kawitannya (Merajan Agungnya). Atas petunjuk Ida Cokorda Toya bahwa warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan patut ikut mekawitan di Merajan Ida Cokorda Toya, yang letaknya di sebelahutara jalan Jaba Pura Dalem Dasar Bhuwana. Hal ini pun warga tidak menolak dengan keputusan seperti itu dan telah pernah nangkil ke Merajan Puri Kelungkung tersebut pada hari Senin (Soma) wuku Kuningan tanggal 20 Oktober 1986, namun ternyata bukan merupakan Merajan Agung Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan.

Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 29 Oktober 1986 merupakan Pujawali Ida Bhetara Hyang. Pada perayaan Pujawali ini Ida Dalem Pemayun dari Puri Kelungkung bersama istri (Rabin ida), Jero Mangku Dalem Dasar yaitu Jero Mangku Numbreg, Ida Bagus Oka dari Griya Puseh Sanur yang membaca (ngewacak) prasasti Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang ditulis oleh Jero Mangku Dalem Dasar (Jro Mangku Numbreg) dan ditandatangani (linggatanganin) oleh Ida Dalem Pemayun. Dalam proses penandatanganan prasasti tersebut pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Suku Langkir Ida Dalem Pemayun memberikan piteket sebagai geguat tentang kecuntakan/kesebelan diantaranya :
- Apabila warga meninggal membawa tali pusar (ngaba mala) patut kena cuntaka selama 42 hari. Di dalam 42 hari tersebut, apabila ada upacara boleh mengambil cuntaka 21 hari.
- Apabila warga meninggal tidak membawa mala patut kena cuntaka 12 hari. Dalam 12 hari itu, apabila ada upacara boleh diambil 7 hari.
- 3 hari sebelum puncak upacara, apabila terjadi kematian dalam warga, maka upacara di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan patut didahulukan.
- 7 hari sebelum puncak upacara di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, apabila terjadi kematian dalam warga, maka patut mendahulukan orang yang meninggal dalam proses upacaranya.
- Khusus untuk acara tilem kesanga patut mengacu pada keputusan manggala Desa Adat.
Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 27 Mei 1987, dilaksanakan rapat warga, yang dipimpin oleh I Wayan Sedeng. Dalam rapat itu pimpinan rapat menjelaskan rencana perehaban dan pembanguna pelinggih antara lain : Catu, Meru, Gedong Simpenan, Gedong Sari, Kemulan Wayah, Menjangan Seluang, Pelungguhan, Kurabi, Taksu dan Pertiwi. Sedangkan untuk Tajuk 2 buah hanya diganti atapnya saja. Untuk pelinggih Dalem Dasar di Dalem Pengastulan juga ikut direhab, yang dikerjakan oleh tukang ijuk dari Mambal yaitu Dewa Aji Sri. Dalam rencana perehaban pelinggih ini oleh warga diterima dan disetujui dengan kesepakatan uronan sejumlah Rp. 20.000,- per KK. Perencanaan perehaban pelinggih ini ditargetkan harus selesai pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Warigadian tanggal 15 Juni 1988 dan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 20 Juli 1988 direncanakan akan dipelaspas dan dilanjutkan dengan upacara Medudus Alit. Akhirnya perehaban tersebut dapat terselesaikan sesuai rencana dan upacara Melaspas serta Medudus Alit dipuput oleh Ida Pedanda Griya Puseh Sanur.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Ukir tanggal 7 Desember 1988, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan yang kesah ke Pohmanis, yang bernama I Wayan Regog. I Wayan Regog merupakan pratisentana dari Ni Cengkeh anak dari Kaki Cawan yang telah menetap di Desa Pohmanis. Ikhwal turunnya I Wayan Regog menjadi warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dengan membayar uang pembangunan dan upacara yadnya seluruhnya sebesar Rp. 150.000,-

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 13 Nopember 1989 dilaksanakan sebagai piodalan biasa dan
Pada hari Selasa (Anggara) Kliwon wuku Medangsia tanggal 20 September 1989 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan meajar-ajar di lingkungan Desa Adat Peminge dan dilanjutkan kembali ke Sumerta, Dalem Dasar, Catur Lawa (Ratu Pasek) Besakih, Penataran Agung Besakih, Silayukti, Tanjung Sari, Telaga Mas, Pasar Agung, Lempuyang Luhur dan terakhir di Pura Luhur Uluwatu. Di Lempuyang Luhur Tapakan (Sadeg) Ida Bhetara Kak Mangku Leri kerauhan dan ngewacak keberadaan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan bahwa dilingkungan Parhyangan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan belum terdapat Padmasana. Berdasarkan hal itu oleh Pengurus dan warga berjanji akan membangun (ngwangun) Padmasana tersebut asalkan diberikan kedamaian dalam setiap keluarga bagi semua warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan.

Kini tiba giliran timbulnya permasalahan baru sejak adanya pembebasan tanah pantai di kawasan Nusa Dua Selatan. Disaat limpah ruahnya kekayaan yang datang ke Sawangan ini, pada hari Senin (Soma) tanggal 25 September 1989 pohon bekul menjadi objek permasalahan yang ditebang oleh I Made Ruken (Pan Mukin) dan I Ruteg (Pan Arka) atas suruhan I Made Canting.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Ukir tanggal 31 Januari 1990 diadakan rapat warga yang dipimpin oleh I Wayan Kodi, karena I Wayan Sedeng berhalangan hadir karena sakit. Rapat warga kali ini membicarakan masalah pemugaran tembok penyengker disebelah timur Pura, yang mana sekarang telah menjadi tempat parhyangan Ida Bhetara. Saat sebelum menjadi jeroan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, telah berdiri Turus Lumbung Kemulan yang dimiliki oleh oleh Pan Roden dan Pan Mukin. Permohonan ini dikabulkan oleh Pan Mukin dan Pan Roden, tetapi mendapat halangan dari Sadeg Ida Bhetara yaitu Pan Tanggu, karena tidak dibenarkan mejaba jero ke hulun pura, namun atas persetujuan warga akhirnya tetap dilakukan pemugaran.

Hari Minggu tanggal 27 Januari 1991, I Wayan Kodi didatangi lagi oleh Polda Bali Bapak Jaeleni dan Bapak Anom membicarakan masalah Pilar, Pohon Kelapa yang ditanam oleh Pan Roden agar dibongkar atau dihilangkan sesuai laporan I Made Canting. Menanggapi permasalahan ini I Wayan Kodi dengan tegas memberikan jawaban bahwa tetap akan mempertahankan Pilar dan Pohon Kelapa yang ditanam oleh Pan Roden tersebut sebagai pengganti Pohon Bekul yang ditebang pada tahun 1989.

Pada hari Selasa tanggal 29 Januari 1991, kembali datang petugas Polda Bapak Jaeleni dan Bapak Anom dengan topik pembicaraan yang sama seperti tanggal 27 Januari 1991. Tempat I Wayan Kodi bertemu dengan petugas Polda di Bale Mundak I Wayan Kodi yang dihadiri pula oleh I Wayan Rubag selaku Kepala Lingkungan Banjar Sawangan, tetapi I Wayan Kodi tetap pada pendirian untuk mempertahankan Pilar dan Pohon Kelapa Pan Roden tersebut.

Pada hari Senin tanggal 4 Pebruari 1991, giliran Pan Roden dipanggil ke Kantor Lurah Benoa. Mengenai isi panggilan sama dengan permasalahan I Wayan Kodi saat didatangi oleh petugas Polda. Oleh karena kebingungan Pan Roden akhirnya mengadu kepada I Wayan Kodi bahwa dirinya mendapat panggilan ke Kantor Lurah. Menyikapi pengaduan tersebut Pan Roden tidak diberikan menghadiri panggilan tersebut, tetapi dihadiri oleh I Wayan Kodi. Dalam menghadiri panggilan Pan Roden tersebut, I Wayan Kodi diterima oleh I Made Rabeh bertemu dengan I Made Canting. Kemudian I Wayan Kodi berbicara singkat dengan I Made Canting bahwa “yang benar pasti benar, yang salah pasti mendapat kutukan” dan tetap mempertahankan Pilar dan Pohon Kelapa yang ditanam oleh Pan Roden sebagai pengganti Pohon Bekul yang amat sangat sakral. Dalam kurun waktu 3 bulan, permasalahan ini selesai karena I Made Canting meninggal.

Di bulan Mei 1991, tepatnya pada hari Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Dungulan tanggal 25 Mei 1991, Ni Piring menghembuskan napas terakhirnya. Menjalankan swadharma sebagai pratisentana untuk memenuhi Pitra Rna, maka pada tanggal 29 Mei 1991 dilakukan proses upacara pebersihan (nyiramang layon) dan dirangkaikan dengan upacara ngajum kajang sari sebagai bagian dari Upacara Pitra Yadnya. Pada hari Jumat (Sukra) Wage, Wuku Kuningan tanggal 31 Mei 1991 dilakukan upacara atiwa-tiwa yang dipuput oleh Ida Pedanda Oka dari Griya Timbul Sanur. Bertepatan dengan hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 5 Juni 1991 merupakan Tetoyan (Pujawali) Ida Bhetara di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, tetapi dalam hal ini Pujawali tersebut ditiadakan (batal), termasuk juga sangkepan (Rapat) warga ditiadakan berdasarkan acuan Keputusan warga tanggal 6 Juni 1984. Berkaitan dengan upacara atiwa-tiwa diatas, pada hari Senen (Soma) Pahing Wuku Langkir tanggal 3 Juni 1991 dilakukan upacara nyenukan ke Griya Puseh Sanur.

Hari Senen (Soma) wuku Ukir tanggal 20 Oktober 1991, Pan Koran melaksanakan pengabenan yang dilanjutkan dengan upacara penyekahan dan bersamaan dengan upacara manusa yadnya. Dalam pengabenan Pan Koran, aturan wargapun tetap dapat dijalankan.

Hari Senin tanggal 28 Spetember 1992, dilakukan perehaban Pura Pengastulan. Dalam perehaban ini diikutsertakan perehaban Parhyangan Ida Bhetara Dalem Dasar Gelgel dan dilakukan pemelaspasan pada tanggal 4 Oktober 1992.

Pada hari Jumat tanggal 2 April 1993 dilakukan pertemuan di rumah Pan Koran, membicarakan masalah Kawitan. Adapun yang hadir pada pertemuan tersebut adalah I Wayan Sedeng, Kak Leri, Pan Polih, Pan Ripeh, I Rubeng , I Pahit dan Pan Koran sebagai tuan rumah. Dalam hal ini semestinya rapat tidak dilakukan di salah satu rumah warga dan I Wayan Kodi semestinya diundang hadir karena masih merupakan pengurus aktif di pewargan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, sementara yang dibicarakan pada waktu itu adalah masalah kawitan. Sehingga sewajarnyalah melibatkan pengurus yang masih aktif saat itu dan mengambil tempat yang dimiliki oleh warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan seperti misalnya Bale Pemaksan, Bale Pengeratengan dan Bale Tanah yang ada di jeroan pura.

Pada hari Jumat tanggal 16 April 1993 pukul 14.00 diselenggarakan rapat warga di halaman (Jeroan) pura yang dipimpin oleh I Wayan Sedeng. Rapat saat itu dihadiri oleh I Wayan Sedeng, I Wayan Kodi, I Wayan Kendra, Pan Roden, I Madig, I Riten, Kak Leri, Pan Tanggu, Kak Arka, Pan Sura, Pan Balin, I Gabeng, Pan Rimpig, I Kornel, I Madra, Pan Koran, I Ronci, Kak Lenen, dan lain sebagainya. Dalam rapat ini dibahas mengenai kawitan (Merajan Agung). Berdasarkan penjelasan I Wayan Sedeng mengatakan bahwa beliau tidak mengenal dan tidak tahu asal muasal kawitan, namun berdasarkan penjelasan Pan Koran, patut warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan mekawitan ke Pura Dadia Agung di Desa Pegatepan. Dalam rapat tersebut Pan Tanggu kerauhan ngemedalang penika bahwa seyogyanya kita agar nangkil ke Jero Mangku Pasek Gelgel. Dengan demikian maka rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng.

Hari Sabtu tanggal 17 April 1993 perwakilan warga nangkil ke rumah Mangku Pasek Gelgel, sementara waktu itu Jero Mangku Suwandi tidak ada karena beliau ke Batur dan Besakih. Yang ikut hadir ke rumah Jero Mangku Suwandi diantaranya I Wayan Sedeng, I Wayan Kodi, I Wayan Kendra, I Wayan Roden, Pan Mukin, I Madig, I Gabeng, Pan Sura, Pan Balin, Pan Rimpig, Kak Arka, Kak Leri, Pan Koran dan I Kornel.

Hari Selasa tanggal 20 April 1993 kembali lagi melanjutkan nangkil untuk memastikan keberadaan kawitan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan. Yang hadir nangkil pada waktu itu adalah Kak Juli, Pan Putu, Kak Arka, Kak Tanggu, Pan Sura, Pan Balin, I Gabeng, I Madig, Pan Roden, Pan Koran, I Kiteh, Pan Ripeh dan I Gentil. Setelah bertemu dengan Jero Mangku Suwandi, beliau menjelaskan bahwa Prasasti yang menlinggih di Dadya Agung Pasek Pegatepan adalah Prasasti warga Tangkas, sementara Jero Mangku Suwandi sendiri tidak ikut medadya di Pura Dadya Agung Pasek Pegatepan tersebut.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 5 Mei 1993, warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, yang diwakili oleh prajuru, mangku dan beberapa warga menghaturkan Upacara Pengelelesu Ida Bhetara yang menlinggih di Pura Dadya Jero Mangku Suwandi. Adapun yang ikut pada waktu itu adalah Kak Leri, Pan Tanggu, Men Sura, Men Balin, I Gabeng, I Pahit, Pan Ripeh, Kak Juli, I Rodat, Pan Koran, Dong Ronci (Ni Racem), Ni Lumur, Dong Leri, Men Rasmin, Pan Putu, I Riten, I Madig, Pan Polih, Pan Roden, Pan Juli, Kak Arka, Kak Grendeng, Me Kubuk, Ni Arni (Lolak), Men Polih, Men Putu, Men Seneng, I Kornel, I Rubeng, Pan Rimpig dan Pan Raba. Upakara yang dihaturkan pada waktu itu adalah :
a. Tipat Ajengan, Peras Daksina, Segehan Putih Kuning
b. Banten penglemperan ; Suci asoroh, Banten sorohan asoroh, Santun gebogan dan segehan putih kuning.

Pada hari Sabtu tanggal 29 Mei 1993 dilaksanakan Rapat Warga. Adapun yang menjadi tujuan rapat adalah dalam rangka untuk minta petunjuk kepada Sadeg Ida Bhetara, Kak Leri dan Kak Tanggu, apakah dilanjutkan ngetut upakara pegelelesu yang kita haturkan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 5 Mei 1993. Dalam rapat ini telah terjadi bersebrangan pendapat antara Kak Leri dengan Kak Tanggu, yang pada akhirnya Kak Tanggu meninggalkan rapat sebelum rapat usai. Dalam situasi yang bersitegang ini Kak Leri VS Kak Tanggu, Pan Putu dan Pan Polih mencari Kak Tanggu ke Pondoknya di Gunung Payung namun tidak ketemu tetapi akhirnya beliau dijumpai di arena sabung ayam (Rege) di daerah Pedik.

Pada hari Minggu tanggal 30 Mei 1993, sebagai tindak lanjut dari usaha untuk meyakinkan Pura Kawitan, maka Kak Juli, Pan Polih, Pan Putu Kak Leri, Pan Tanggu, Pan Sura, Pan Balin, I Gabeng, Pan Ripeh, I Pahit, I Rubeng, Pan Koran dan Pan Roden nngkil ke Puri Kelungkung. Sesampai di Puri Kelungkung Kak Juli matur piuning dan dilanjutkan oleh Pan Putu.
- Sesuai petunjuk Ida Dalem Pemayun bahwa kawitan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan benar adanya di Ratu Pasek (Pura Dadya Jero Mangku Suwandi). Oleh karena itu disarankan oleh Ida Dalem Pemayun agar tidak percaya dengan issu di luar (pihak ketiga).
- Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan, dimana saat melaksanakan upacara ngaben sudah sepatutnya memakai kajang sari paican Ida Pedanda dan kajang Kawitan, baik kecil maupun besar pelaksanaan upacara Pitra Yadnyanya demikian pewarah Ida Dalem selanjutnya.
Setelah mendapat petunjuk Ida Bhetara Dalem seluruh warga Pura Ibu pasek Gelgel Sawangan yang nangkil ke Puri Kelungkung langsung menuju Jeroan Jero Mangku Suwandi.

Pada hari Selasa tanggal 1 Juni 1993 Jero Mangku Suwandi di jemput di Denpasar Jl. Seruni diajak nangkil ke Puri Kelungkung. Yang ikut nangkil pada waktu itu adalah Kak Juli, Pan Putu, Kak Leri, Kak Tanggu, Kak Arka, Pan Sura, Pan Balin, I Gabeng, Pan Ripeh dan I Wayan Roden. Adapun tujuan penangkilan ini adalah untuk memastikan Penugrahan Ida Bhetara Dalem Pemayun kepada Jero Mangku Suwandi, untuk memberikan apa yang semestinya patut dijalankan oleh Jero Mangku Suwandi sesuai dengan isi penangkilan pada hari minggu tanggal 30 Mei 1993.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Klawu tanggal 9 Juni 1993 semua prajuru warga, sadeg Ida Bhetara, Jero Mangku, semua anggota warga nangkil dan notod di ajeng Parhyangan Dadya Jero Mangku Suwandi nyedepan atur dengan Upakara. Adapun beberapa hal yang menjadi pertimbangan sebelum pergi nangkil ke Pura Dadya Jero Mangku Suwandi antara lain :
- Berdasarkan keputusan Sadeg, Jero Mangku dan Pengurus, mengenai upakara membeli langsung kepada Jero Mangku Suwandi agar sesuai dengan dresta di sana.
- Sebelum berangkat ke kawitan Gelgel, warga mapiuning kepada Ida Bhetara Hyang, Susunan dan Ida Bhetara Dalem Dasar di Pengastulan dengan sarana upakara Daksina munggah di masing-masing Parhyangan Ida Bhetara.
Setelah sampai di Pura Kawitan dan menghaturkan upakara di Parhyangan Kawitan, yang mana Kak Juli, Pan Polih dan Pan Putu mempermaklumkan (matur piuning) kehadapan Ida Bhetara Kawitan, bahwa mulai saat ini hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu tanggal 9 Juni 1993, Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan mekawitan di Mrajan Jero Mangku Suwandi.
Dengan diakuinya ikut mekawitan di Merajan Jero Mangku Suwandi, maka beberapa hal yang menjadi kewajiban sebagai warga sebagai berikut :

a. Khusus untuk atiwa-tiwa nunas Kajang Kawitan dengan upakara Daksina, Prayascita, Kain untuk Kajang.
b. Atiwa-tiwa untuk sawa yang sudah di kubur, pada saat ngulapin patut diganti di kuburan adalah Ayam, anak pisang untuk satu sawa.
c. Selain Kajang yang di berikan dari Kawitan, juga tirta Ratu Pasek Dalem Dasar.
d. Kajang dan Tirta dipapag di pintu gerbang (Lebuh) dengan upakara Tipat Ajengan, Peras Daksina, dan Segehan Putih Kuning.
e. Di tempat Kajang dan Tirta sebelum diajum juga diaturkan upakara Tipat Ajengan, Peras Daksina dan Segehan Putih Kuning.
f. Tiga hari setelah upacara pengabenan wajib menghaturkan jauman ke Mrajan Jro Mangku Suwandi.
g. Selain kententuan diatas tidak ada lagi penjelasan dari Jero Mangku Suwandi.

Pada tanggal 31 Oktober 1993 I Made Losin meninggal dan pada hari Rabu (Buda) wuku Tambir tanggal 3 Nopember 1993 dilakukan pebersihan yang dirangkaikan dengan upacara ngajum kajang. Kajang Sari yang kapica dari Ida Pedanda Griya Puseh Sanur dan Kajang Kawitana kapica dari Jero Mangku Suwandi.
Pada hari Rabu (Buda) wuku Medangkungan tanggal 10 Nopember 1993 dilaksanakan pengabenan I Made Losin. Pada acara pengabenan ini melibatkan semua anggota pemaksan Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dan anggota Banjar Sawangan. Pada saat ini semua aturan warga yang lama masih berlaku. Warga dapat makan dan yang perempuan dapat nasi punjungan dengan ikan bayuhan 1 ½ punjung beserta jajan tempekan. Yang mengusung bale-balean dan lembu mendapat arak yang sudah disediakan di Banjar. Aturan pemaksanpun pada Buda Cemeng Warigadian tanggal 6 Juni 1984 tersebut masih berlaku pada saat itu. Pada hari Sabtu (Saniscara) Umanis, wuku Medangkungan tanggal 13 Nopember 1993 dilaksanakan nyenukan ke Griya dirangkaikan dengan mejauman ke Merajan Jro Mangku Suwandi.

Pada hari Senin (Soma) wuku Dukut tanggal 10 Januari 1994 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan Pengabenan Massal. Yang diaben pada waktu itu adalah Ni Reding (Men Grinding), Ni Koyik istinya I Wayan Roden, Ni Singkreg istrinya I Renta, Ni Duari, I Retug, I Jata, I Jarti, I Saring, I Sara, I Lekir, dan warga tangkas ikut satu orang yaitu I Rasna. Jumlah sawa pada saat itu berjumlah 13 orang. Pada pelaksanaan ngaben pada saat itu masih berlaku keputusan warga tanggal 6 Juni 1984.
Pada hari Jumat (Sukra) Umanis wuku Ukir tanggal 11 Pebruari 1994 dilaksanakan penyekahan berjumlah 15 sekah. Dalam penyekahan terdapat penambahan lagi 2 sekah yaitu I Made Losin dan Ni Piring. Pelaksanaan penyekahan ini masih mengacu pada aturan warga tanggal 6 Juni 1984.
Pada hari Senin wuku Kulantir tanggal 14 Pebruari 1994, dilaksanakan upacara penuntunan ke segara. Seluruh rangkaian ini dipuput oleh Ida Pedanda Griya Puseh Sanur.
Pada hari Kemis (Wrahaspati) wuku Dukut tanggal 13 Januari 1994 dilakukan upacara nyenukan ke Griya yang dirangkaikan dengan mejauman ke Merajan Jro Mangku Suwandi.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Langkir tanggal 20 April 1994 warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan melaksanakan Upacara Medudus Alit yang dipuput oleh Ida Pedanda Griya Puseh Sanur. Pelaksanaan upacara saat ini tidak melaksanakan upacara meajar-ajar seperti upacara sebelumnya.
Dalam pelaksanaan penglokacara dalam Upacara Medudus Alit ini Sadeg Ida Bhetara Pan Tanggu, nuken Prajuru bahwa tidak boleh membuat jabajero ke hulu Pura dan masalah pohon bekul yang ditebang oleh I Ruken dan I Ruteg atas suruhan I Made Canting serta masalah Padmasana.
Dalam hal ini juga atas petunjuk sadeg Ida Bhetara, agar Pelinggih Catu dibongkar diganti dengan pelinggih Padmasana. Dalam keadaan ini Pan Putu akhirnya nangkil kepada Sadeg Ida Bhetara yang kerauhan (Tedun) bahwa :
1. “Inggihan penyengker ke ulun Pura, nika sampun polih pemutus warga,
2. Inggihan Taru Bekul nika boya ja damuh Ida Bhetara sane ngerencanayang nebang, nanging penyanding sane mawasta I Made Canting nebang taru bekul punika.
3. Inggihan Catu sane kayun Ida Bhetara pacang nyineb kagentosan antuk Padmasana punika titiyang nenten purun, dwaning manut sastra mawosang inggihan Catu punika linggih Ida Hyang Putra Jaya nanak Hyang Pasupati sane malinggih ring Gunung Semeru. Wenten malih sameton Idane minakadi Hyang Danuh apriyangan ring Batur, Hyang Agni Jaya apriyangan ring Lempuyang Luhur, punika minakadi yan tan iwang antuk titiyang ngaturang ring Ida Bhetara nyelang pedasaran”.

Setelah Pan Putu mempermaklumkan (Matur) seperti itu, akhirnya Ida Bhetara kembali ke parhyangan-Nya tanpa diiringi nyanyian suci (tanpakidung).

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Merakih tanggal 25 Mei 1994, prajuru melaksanakan rapat warga. Adapun pokok bahasan yang diagendakan pada waktu itu adalah penjelasan tentang penghabisan saat Pedudusan tanggal 20 April 1994 dan keadaan keuangan yang dikumpulkan dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1994. Pada rapat inilah timbul usulan dari Pan Polih, Pan Mukin dan I Madig. Usulan ini sebagai berikut :
1. Mengenai pengumpulan uang seperti tahun 1980 mereka tidak siap.
2. Pengumpulan uang berdasarkan KK mereka siap.
3. Apabila kedua usulan ini tidak mendapat persetujuan dari warga anggota ijasan, lebih baik kembali seperti saat tahun 1960-an yaitu dibagi untuk ngaturang yadnya.
Sedangkan ijasan Pan Kontreg, Pan Putu dan Pan Roden belum memberikan usulan waktu itu. Dalam hal ini Pan Putu memberikan saran agar dicarikan waktu lagi untuk bisa berembug dulu dengan anggota ijasan masing-masing untuk bisa dituangkan ke dalam rapat warga pemaksan gede. Berdasarkan saran tersebut akhirnya rapat ditutup oleh Pan Kontreg pukul 15.45.

Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 29 Juni 1994 dilaksanakan rapat warga bersamaan dengan sangkepan untuk menindak lanjuti usulan warga dalam rapat pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Merakih tanggal 25 Mei 1994. Masing-masing ijasan mengeluarkan usulan berdasarkan hasil rembugan di masing-masing ijasan sebagai berikut :
1. Ijasan Pan Polih, Pan Mukin dan I Madig mengusulkan bahwa :
a. Mengumpulkan uang seperti tahun 1980 mereka tidak siap.
b. Berdasarkan KK mereka siap.
c. Dibagi dalam hal ngaturang Yadnya.

2. Ijasan Pan Kontreg dan Pan Roden mengusulkan bahwa :
a. Mengumpulkan uang seperti tahun 1980 mereka siap.
b. Uronan berdasarkan KK mereka tidak siap.
c. Dibagi dalam hal ngaturang Yadnya.

3. Ijasan Pan Putu mengusulkan bahwa :
a. Mengumpulkan uang seperti tahun 1980 siap.
b. Berdasarkan KK siap
c. Dibagi dalam hal ngaturang Yadnya juga siap.
Berdasarkan usulan diatas maka prajuru berusaha menyikapi permasalahan tersebut denganbijaksana dimana dalam hal;

Mengingat;
a. Antara ijasan kecil dengan yang besar tidak mau saling menyadari.
b. Semua pihak selalu mengaku lebih benar.
c. Pengurus warga selalu mendapat pertanyaan tentang Cawisan.

Menimbang;
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sudah matang untuk penyelesaian masalah warga tidak dapat dipecahkan dengan musyawarah untuk mencapai kemufakatan.

Memutuskan;
a. Hari Rabu (Buda) wuku Menail tanggal 29 Juni 1994 diputuskan bahwa dalam pelaksanaan piodalan (Pujawali) dibagi per masing-masing ijasan per tahun.
b. Adapun pembagian pelaksanaan pujawali ini berdasarkan undian. Untuk masing-masing ijasan memperoleh melaksanakan pujawali berdasarkan undian sebagai berikut :
1. Ijasan I Wayan Sedeng tahun 1995 sampai 1996
2. Ijasan I Wayan Kendra tahun 1996 sampai 1997
3. Ijasan I Wayan Kodi (Suwantara) tahun 1997 sampai 1998
4. Ijasan I Wayan Deger tahun 1998 sampai 1999
5. Ijasan I Nyoman Riten tahun 1999 sampai 2000
6. Ijasan I Made Madig tahun 2000 sampai 2001

Segala aturan yang mengatur tentang pelaksanaan serta sangsinya belum diatur oleh yang menghendaki membagi pelaksanaan Pujawali. Demikianlah acara khusus pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 29 Juni 1994 yang dipimpin oleh Penglingsir I Wayan Sedeng, bertempat di Bale Pemaksan Warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan pukul 12.30 sampai 16.15 dan rapat ditutup oleh I Wayan Sedeng selaku pimpinan rapat.

Pada hari Minggu (Redite) wuku Kelawu tanggal 31 Juli 1994, rapat warga kembali dilaksanakan yang dibuka oleh I Wayan Kodi (Suwantara). Adapun agenda rapat sebagai beikut :
- Pembukaan
- Pembahasan masalah Mangku Bhetara Hyang, Pan Balin dengan I Lata (Pan Seput).
- Pembahasan permasalahan Pan Tanggu dengan Kak Arka.
- Pembahasan masalah Pujawali di Kawitan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu tanggal 3 Agustus 1994.
- Tanya Jawab.
- Penutup.
1. Setelah acara dibuka oleh I Wayan Suwantara, maka pembahasan permasalah segera dimulai. Mengenai berseterunya Mangku Balin dengan keluarga Pan Seput belum diketahui penyebabnya, tetapi Mangku Bali tidak mau melayani keluarga Pan Seput, sedangkan beliau masih siap menjadi mangku. Atas permasalahan tersebut ditanggapi oleh keluarga Pan Seput bahwa permasalahan ini diserahkan kepada rapat warga. Dengan dilemparnya permasalahan ini ke rapat warga maka pengurus yang didukung oleh semua warga yang hadir, dalam hal ini memberikan saran kepada kedua belah pihak, bahwa sesungguhnya persatuan dan kesatuan merupakan tujuan yang utama dalam mengajegkan suatu tatanan kehidupan. Dengan ini diharapkan kedua belah pihak tidak lagi mempermasalahkan hal-hal yang sudah lewat dan sebaiknya membuka lembaran baru untuk menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan agar tidak terpecah-pecah. Atas saran tersebut, kedua belah pihak akhirnya saling menyadari kekeliruannya dan Mangku Balin dapat melayani warga dengan baik sampai saat ini.
2. Mengenai permasalahan Pan Tanggu dan Kak Arka, dalam rapat tersebut tidak dapat dicarikan solusi. Masing-masing tetap kukuh pada pendiriannya, sehingga masih bersitegang diantara mereka.
3. Mengenai Pujawali di Kawitan Pasek Gelgel pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu tanggal 3 Agustus 1994, telah diputuskan dalam rapat ini yang bertempat di Bale Pengeratengan pukul 10.15 bahwa tangkil ke Kawitan disepakati tanggal 3 Agustus 1994 pada pagi hari.
4. Dalam ruang Tanya jawab, tidak banyak ada usulan warga karena warga telah menyetujui semua keputusan yang ada.
5. Atas dasar tersebut akhirnya rapat ditutup oleh Pan Putu Kodi jam 11.30.

Dalam acara nangkil ke Kawitan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu, upacara sudah disiapkan oleh Jero Mangku Susunan (Mangku Sura) untuk dibawa nangkil ke Kawitan. Adapun yang ikut nangkil pada waktu itu adalah Pan Putu, Pan Ripeh, Pan Sura, Pan Ronci, I Rubeng, Mangku Balin, Pan Tanggu, Pan Kontreg, I Gabeng, Me Putu, Me Ripeh, Me Balin, Me Sura berangkat sesuai dengan keputusan rapat hari Minggu (Redite) tanggal 31 Juli 1994.
Sementara Pan Polih, Men Polih, Kak Leri, Pan Koran Cs nangkil ke Kawitan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Kelawu tersebut pada sore hari melanggar keputusan rapat warga tanggal 31 Juli 1994 tersebut. Hal-hal semacam ini kiranya kurang baik bagi seorang penglingsir karena tidak konsekuen dengan apa yang telah diputuskan dalam rapat warga yang nota bene merupakan keputusan bersama.

Pada hari Jumat tanggal 12 Agustus 1994, I Wayan Regug meninggal. Hari Sabtu tanggal 13 Agustus 1994, Pan Balin dan Pan Tanggu nangkil ke Griya nunas pabersihan dan saji. Pada hari Minggu tanggal 14 Agustus 1994 I Mesten datang mencari Pan Putu untuk diajak berembug tentang acara ngaben. Sehabis dilaksanakan perembugan pukul 14.00, Pan Putu, Pan Polih, Kak Leri dan I Mesten ke Griya untuk mapinunas acara pengabenan, sesampainya di Griya Pan Putu matur ring Ida Pedanda Oka Griya Puseh Sanur. Pada waktu itu Pan Putu mohon kepada Ida Pedanda agar tidak memberikan dewasa yang bertepatan dengan hari Pasah, Kajeng Kliwon dan Ingkel Wong. Berdasarkan pinunas Pan Putu seperti ini menyebabkan Ida Pedanda duka (marah), sampai akhirnya Ida Pedanda tidak memberikan dewasa. Oleh karena Ida Pedanda tidak memberikan dewasa yang sangat diperlukan sekali akhirnya Pan Putu matur piuning (melaporkan) kepada Ida Ayu Made dan akhirnya beliau menuntun ke Griya Sanur kepada Ida Pedanda Ngenjung Sanur. Pada waktu itu Ida Pedanda Ngenjung mapaica (memberikan) dewasa pada hari Selasa (Anggara) wuku Watugunung tanggal 16 Agustus 1994 untuk acara nyiramang (mabersih) yang dirangkaikan dengan ngajum kajang. Pada hari Jumat (Sukra) wuku Watugunung tanggal 19 Agustus 1994 pelaksanaan pengabenan berdasarkan aturan warga yang diputuskan pada rapat warga hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984. Setelah selesainya upacara pengabenan, pada hari ketiga setelah upacara pengabenan tersebut dilakukan upacara nyenukan ke Griya yang dilanjutkan dengan mejauman ke Merajan Jro Mangku Suwandi.

Pada hari Selasa (Anggara) tanggal 13 September 1994, I Ludug meninggal. Pada hari Rabunya (Buda) tanggal 14 September 1994, Pan Putu dicari oleh Kak Juli diajak ke rumah Pan Weta untuk diajak berembug dalam rangka pengabenan Pan Weta (I Wayan Ludug). Dalam acara perembugan itu dipimpin oleh Pan Koran (I Koser) dengan beberapa agenda sebagai berikut :
a. Rencana pengabenan Pan Weta ini, Pan Koran tidak akan memakai aturan warga sesuai keputusan Suka Duka warga pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) Wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984.
b. Tidak diikutinya aturan warga tersebut karena saat pengabenan I Reteng/Kak Rotot tidak memakai aturan Suka Duka warga pemaksan.
c. Pada waktu penyekahan I Reteng/Kak Rotot diikutsertakan ke Peminge, waktu Pan Coco/I Ribeg nyekah.
d. Waktu pengabenan Ni Limas/ Men Takir juga sempat disinggung oleh Pan Koran/I Koser.
e. Menanggapi hal ini bahwa pada pengabenan I Reteng/Kak Rotot peraturan Suka Duka warga pemaksan belum ada. I Reteng meninggal tahun 1981 sedangkan peraturan Suka Duka Warga Pemaksan mulai dibuat oleh warga pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Warigadian tanggal 6 Juni 1984.
f. Mengenai Ni Limas/M. Takir, memang berada dalam satu Dadya tetapi lain banjar suka duka, yang mana telah diatura didalam aturan Suka Duka Warga Pemaksan bahwa khusus untuk warga yang berada diluar lingkungan Banjar Sawangan boleh ikut boleh juga tidak ikut aturan ini. Warga diluar lingkungan Banjar Sawangan yang dimaksud adalah warga yang berada di Lingkungan Peminge, Kuta, Denpasar dan lain-lain berdasarkan keputusan warga pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) suku Warigadian tanggal 6 Juni 1984.
g. Pada hari Kemis tanggal 15 September 1994, Pan Putu, Kak Juli, I Setir, I Ranten, ke Kawitan Mangku Suwandi nunas Kajang Kawitan.
h. Pada hari Selasa tanggal 20 September 1994 pukul 19.00 sampai 06.00 diajak ngerateng.
i. Pada hari Rabu (Buda) wuku Tolu tanggal 21 September 1994, pelaksanaan pengabenan I Wayan Ludug.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Merakih, tanggal 21 Desember 1994, acara sangkepan (rapat) warga pukul 14.15 Wita bertempat di Bale Pemaksan (Bale Timbang), yang mana pada waktu itu ada usulan dari warga yang bernama I Wayan Komplit (Pan Karmi) antara lain :
1. Setiap pelaksanaan yadnya di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dibebankan uronan warga berdasarkan KK.
2. Pengurus lama harus diganti, kecuali I Wayan Kendra dan I Wayan Sedeng.
Sangkepan (Rapat) pada waktu itu dipimpin oleh I Wayan Kodi Suantara. Menanggapi usulan tersebut, I Wayan Kodi Suantara yang berkedudukan sebagai Sekretaris pada saat itu menyatakan siap mundur dan serah terima administrasi baru akan dilaksanakan pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 25 Januari 1995. Acara sangkepan (Rapat) pada tanggal 21 Desember 1994 tersebut ditutup pukul 16.10 Wita.

Pada hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 25 Januari 1995, diadakan acara gotong royong dan dilanjutkan dengan sangkepan (Rapat) warga yang bertempat di natar Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan pukul 10.15 Wita. Dalam rapat inilah dilakukan serah terima administrasi kepada Pengelingsir I Wayan Sedeng dan I Wayan Kendra oleh I Wayan Kodi Suantara.
Demikianlah perjalanan kepengurusan I Wayan Kodi Suantara di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dari tahun 1968 sampai dengan hari Rabu (Buda) Wage (Cemeng) wuku Menail tanggal 25 Januari 1995, semoga goresan ini bermanfaat bagi generasi baru Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan dalam usaha untuk membangun keutuhan persatuan dan kesatuan warga Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan nantinya. Pada kesempatan ini saya secara pribadi berharap ada keikhlasan pemberian maaf untuk kesalahan yang telah saya perbuat baik sengaja maupun tidak dan semoga segala perbuatan baik mendapat pahala yang sepadan. Karena orang bijak menyebutkan “tak ada gading yang tak retak”, “tan hana wong swastānulus”, “tan sida wong sakti sinunggal, apan kita jana sedaya kaliput dening sapta timira”.

Om Ksama Sampurna Ya Namah,
Om Dewa Suksma Paramãcintya Ya Namah,
Om Santih, Santih, Santih Om